Text
Aspek Pidana Penyalahgunaan Narkotika : Rehabilitasi Versus Penjara
Indonesia Darurat Narkoba! Sebuah frasa yang terdengar berbahaya dan mencekam. Data yang diperoleh oleh BNN, narkoba yang masuk ke Indonesia jumlahnya menembus hingga berton-ton dengan 72 jaringan aktif. Jaringan tersebut mampu menyembunyikan narkoba. Barang hanya akan keluar apabila terdapat pesanan. Dalam 4 kasus terakhir di tahun 2017 yang ditangani BNN, para mafia narkoba sudah menggunakan senjata api pabrikan, bukan lagi rakitan seperti M16, AK 47 dan Revolver. Kejahatan Narkotika ini membuat Indonesia dari segala penjuru untuk memasang kuda-kuda. Sempat merebak ke permukaan wacana untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika terkait Pasal 127 bahwa Pecandu dan Korban Penyalah Gunaan Narkotika tidak direhabilitasi sebagaimana amanat Pasal 127, melainkan akan dijatuhi pidana penjara. Di satu sisi seorang Pecandu adalah pesakitan yang perlu disembuhkan melalui rehabilitasi, akan tetapi sering kali para penjahat narkoba bersembunyi di balik kedok seorang Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika agar tidak menjalani hukuman. Di sisi yang lain, Penjahat narkoba yang sangat mengancam generasi bangsa perlu untuk diasingkan agar tidak beroperasi, akan tetapi jangan sampai juga di dalam penjara mereka malah berguru mengedar narkoba kepada narapidana yang lebih ahli. Bola-bola perdebatan semakin kencang bergulir untuk mengamini manakah pilihan yang lebih ideal dan mutlak diterapkan bagi seorang Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Apakah rehabilitasi atau justru pidana penjara?
B071222 | 344.598 054 5 RAT a | IBLAM KRAMAT | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain